Malang Tak Terasa Malang
Tugas ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Komunikasi Antar Budaya. Entah kenapa pengen ngeshare ini. Enjoy it!
Saya
sebenarnya bukan orang Malang, tapi sudah lama tinggal di Malang. Saya disini
sudah dari kelas 2 SD, berarti sudah sekitar 14 tahun saya tinggal di Malang. Selama
saya hidup disini saya merasakan bahwa Malang memang Kota Pendidikan karena
banyak sekolah dan institusi bergengsi dan terkenal sampai dikenal luar pulau
jawa. Orangtua saya yang selalu berpindah-pindah karena dinas pekerjaan memilih
menetap disini karena pendidikannya yang bagus dan sekaligus biaya hidupnya
yang terjangkau.
Saya
yang dulunya pindahan dari Makassar juga memiliki culture shock saat sampai
disini karena bahasanya yang sangat berbeda sekali. Teman-teman SD saya selalu
memakai bahasa ngoko kalau diartikan itu adalah bahasa jawa kasar yang dipakai
untuk anak yang seumuran. Awalnya minder karena saya tidak bisa berbahasa jawa
seutuhnya karena saya tidak pernah memakai bahasa jawa dirumah meskipun orang
tua saya orang jawa. Namun darisitu lama kelamaan saya belajar beradaptasi
dengan orang Malang, mulai dari bahasa mereka sampai kebiasaan mereka.
Singkatnya,
saat saya sudah menginjak bangku kelas 3 SMA sudah berpengalaman dan memahami
kota Malang. Walaupun tidak semua saya pahami seperti nama jalan, tapi saya
setidaknya tahu seluk beluk kota sekaligus orang Malang itu sendiri. Hingga
tiba saat UASBN, saya dan teman-teman mulai kocar-kacir mencari universitas
paling baik sesuai referensi kami. Saya dulunya ingin berkuliah di Surabaya,
namun orangtua tidak mengizinkan karena alasan tertentu. Hingga akhirnya saya
mencoba menimbang-nimbang universitas mana dan jurusan apa yang bagus dan bisa
saya dapatkan di Kota Malang. Saya sempat berpikiran akan masuk UM karena ada
jurusan Desain Komunikasi Visual, namun setelah saya pikir lagi jurusan Ilmu
Komunikasi lebih relevan karena lebih luasnya lapangan pekerjaan dan jurusan
itu terdapat di Universitas Brawijaya. Saat saya mengobrol dengan teman
mengenai UB ada yang bilang bahwa UB itu anaknya gaul, gengsi, dan hedon jadi
saat orang berkuliah disana serasa masuk FTV dimana orang yang paling kaya itu
yang berkuasa. Saya sewaktu itu berkata memang universitas apalagi yang bagus
di Malang kalau saya hanya dibolehkan kuliah di Malang. Teman saya tidak bisa
menjawab hal itu dan hal itu semakin membuat saya penasaran apakah benar UB
hanya berisi anak-anak seperti itu. Hingga akhirnya saya ikut tes Mandiri di UB
dan bersyukur bisa diterima disana. Namun patut diingat bahwa saya masuk UB
bukan karena alasan penasaran, melainkan karena saya sudah jatuh cinta pada
jurusan Ilmu Komunikasi yang kegiatan pembelajarannya saya pikir menyenangkan
dan cocok untuk saya.
Malang
dulu sewaktu pagi selalu berkabut saat saya berjalan dari rumah menuju SD saya.
Namun hal ini tidak berlaku lagi sekarang karena banyaknya transportasi yang
masuk mulai dari luar kota hingga mulai banyaknya penduduk. Hal itu saya lihat
saat masuknya hari ospek para Maba di UB membuat sangat macetnya jalan
sekitaran UB seperti Soekarno Hatta maupun Veteran. Jujur, saat masuk pertama
kali di Universitas Brawijaya rasanya mengingatkan kembali culture shock saya
saat pertama kali dulu berada di Malang. Namun hal ini berbeda karena culture
shock tersebut dikarenakan banyaknya bahasa yang dipakai sewaktu saya berada di
UB dan memang mayoritas menggunakan bahasa “lo-gue” atau bisa disebut bahasanya
anak Jakarta. Entah kenapa saya tidak meyukai bahasa “lo-gue”, menurut saya
bahasa itu terkesan individualis dan menggambarkan mereka sebagai individu yang
cuek terhadap sekitar. Sampai saya masuk ke semester pertama kuliah saya masih
merasakan culture shock lagi meskipun saya sudah menemukan teman yang sesama
bukan anak Jakarta. Saya menjadi pendiam karena saya bingung bagaimana saya
menunjukkan identitas saya kepada mereka. Apalagi teman sekelas saya yang
mayoritas anak Jakarta selalu membawa teman Jakarta juga sehingga mereka
terkesan bergeng dan tidak mau berbaur dengan anak yang bukan orang Jakarta. Namun,
mulai semester dua saya sudah mulai menemukan teman yang cocok sehingga saya
janjian dengan mereka untuk menyamakan jadwal KRS untuk semester berikutnya.
Hal
yang saya ingat ketika ospek adalah memang anak Jakarta yang paling berani
menyuarakan opini atau pendapat mereka ketika ditanya oleh kakak-kakak ospek.
Mereka lantang dan tanpa ragu berbicara meskipun dimarahi. Menurut saya bagi
orang Malang sendiri hal itu mungkin dianggap tidak sopan dan tidak etis jika
dilakukan kepada orang yang lebih tua. Namun hal itu setidaknya membuat saya
berpikir positif terhadap stereotype anak Jakarta memang anak yang pemberani. Pernah
suatu ketika dosen membahas tentang beradaptasi di kota Malang. Dosen itu
menanyakan siapa dikelas ini yang berasal dari Jakarta dan separuh isi kelas
mengangkat tangan mereka. Lalu dosen itu menanyakan lagi siapa disini yang
tidak mau memakai dan belajar bahasa Malang meskipun tinggal di Malang, dan
terkejutlah saya ada sebagian anak yang mengangkat tangan. Darisitu saya
berpikir kenapa ada orang lucu seperti yang mengangkat tangan tersebut, mereka
berkuliah di Malang setidaknya belajarlah sedikit berbaur dengan orang Malang.
Meskipun tidak mau berteman dengan orang Malang, kalian sebagai anak Ilmu
Komunikasi kenapa tidak mau belajar berkomunikasi untuk bertahan hidup disini?
Saya saja sebagai bukan orang Malang masih berusaha beradaptasi di universitas
yang berada di kota Malang tapi tak terasa di Malang ini.
Pengalaman
itu membuat saya sadar bahwa saya perlu untuk memperluas jaringan pertemanan
saya. Saya mulai mencoba berbaur dengan anak Jakarta yang sebagian menurut saya
baik dalam pertemanan tidak seperti kebanyakan yang saya ceritakan diatas.
Mereka ternyata asyik dan seru juga untuk diajak berteman, meskipun mereka
masih menggunakan bahasa “lo-gue”. Saya memahami bahwa setiap anak yang berbeda
daerah juga membawa kebiasaan daerahnya dalam pertemanannya, termasuk teman
saya yang dari Lombok dengan ciri khas logatnya yang bernada tinggi dan keras.
Dari cerita ini, saya ingin mengatakan bahwa kuliah di UB tidak separno yang
kita bayangkan, karena yang saya ingat masih ada orang baik disamping kita. Saya
memahami bahwa untuk memiliki banyak teman kita tidak harus meninggikan gengsi,
melainkan tingkatkan lagi kemampuan diri kita, kenali diri kita, dan jadilah
orang yang lebih baik dari sebelumnya. Dari Universitas ini saya belajar
memahami, menghargai, toleran, dan terbuka terhadap keberadaan orang lain. Saya
mendapatkan pelajaran bahwa belajar hidup itu memang tidak hanya disekolah
saja, namun kita bisa belajar lebih banyak dan mempunyai sudut pandang yang
luas berdasarkan apa yang kita dapatkan dari sekolah.
Komentar