Juru Bicara, Tips Berani Berbicara Ala Pandji Pragiwaksono




"Selama ada yang menulis maka ada yang membaca, dan selama ada yang membaca maka ada yang belajar, dan selama ada yang belajar maka masih ada harapan akan kemajuan di Indonesia. "

    Menjadi mahasiswa seharusnya sudah tertata, mau jadi apa nanti, apa saja yang harus dipersiapkan. Istilahnya berbenah diri. Meskipun punya banyak teman, semakin dewasa yang kita lihat adalah kualitas pertemanan kita. Lebih baik sedikit teman tapi saling memahami , saling mengerti, dan saling peduli. Bukan hanya sekelompok orang yang berkumpul demi menjaga eksistensi. Seorang teman pun seharusnya juga dibarengi dengan membawa kita berjalan sukses bersama-sama.

    Jadi, dalam kesempatan ini aku bakal kasi tahu bagaimana buku itu juga bisa membawa kita untuk berbenah diri bukan hanya menyaring teman, tetapi juga menyerap apa yang kita baca, apa yang kita amati, dan apa yang kita lihat saat ini bahwa kita harus mencari banyak ilmu dan pengalaman. Menulis dan membaca merupakan hal yang paling gampang untuk berbenah diri. Tapi, kalau kita nggak berani untuk berpikir logis dan nggak berani untuk mengemukakan apa yang kita inginkan maka tidak akan ada perubahan. Disini, aku bakal ngebahas buku yang menyadarkan kita pentingnya berani berbicara untuk melawan. Judul buku yang akan aku bahas adalah “Juru Bicara”.
 

Resensi buku Juru Bicara
 
    Buku ini ditulis oleh Pandji Pragiwaksono, salah satu publik figur terkenal di Indonesia. Ia tak hanya dikenal sebagai stand-up comedy, tetapi juga politikus. Buku ini adalah buku ketujuh yang ditulis oleh Pandji sekaligus juga sebagai judul pertunjukan stand-up comedy special dengan tur menjelajahi kelima benua di dunia dengan kota-kota diantaranya seperti San Fransisco, Chicago, Washington DC, Sydney, Los Angeles, dan sebagainya. 




"Wow, Jadi apa yang istimewa dalam buku ini sampai bisa berkeliling sampai kelima benua?"


Kali ini aku bakal bikin sebuah hipotesa :
Kenapa masyarakat Indonesia saat ini nggak maju-maju?
Kenapa sih tayangan di media Indonesia gak ada yang mendidik sama sekali?
Kenapa sebagian besar masyarakat masih suka nonton sinetron?

    Sebuah cerita dari Amerika, Ada banyak kasus anak-anak usia 7-14 tahun meninggal kepanasan di mobil. Mereka disuruh orangtua mereka untuk tidak pergi kemana-mana. Mereka dibiarkan di mobil tanpa AC dengan  jendela mobil yang tertutup. Mereka terlalu nurut dengan orangtua tanpa berpikir kritis apa yang akan terjadi. Kalau begitu lantas apa yang harus dilakukan untuk memulai berpikir kritis?

    Misalnya seseorang yang mempunyai kebun pisang yang luas. Suatu hari ia ingin sekali makan pisang goren, lalu ia memetik pisangnya dan dijualnya ke tetangga, dan uang hasil penjualan pisang tersebut dipakai untuk membeli pisang goreng ke tetangga sebelah lainnya.


    Lucunya padahal seharusnya dia bisa belajar cara membuat pisang goreng. Uang yang dipakai untuk membeli pisang goreng seharusnya  bisa untuk membeli alat masak pisang goreng. Mungkin ia takut gagal saat memasak, Tapi seharusnya ia mencoba berkali-kali sampai rasanya menjadi enak. Dengan membiasakan kita untuk memproduksi, alam bawah sadar kita akan terproses untuk mempelajari dan mencoba memahami proses produksi yang lainnya, melakukan perbandingan lainnya.
 

    Dengan memproduksi sendiri, Kita sudah terbiasa peduli dengan hal yang terjadi disekitar kita, kita bisa melakukan perubahan. Tidak perlu berpikir yang rumit. Perubahan bisa dimulai, semuanya bisa dimulai dari diri kamu.

    Lebih lanjut, coba deh cari di google dengan keyword “anak SMA” pasti yang paling banyak muncul fotonya adalah anak-anak yang menampilkan gaya yang tidak pantas sebagai kaum berpendidikan. Lantas, apakah semua anak SMA di Indonesia seperti itu? Kemanakah sebagian dari mereka?


    Pandji (2016) menjawab, “ kualitas anak muda Indonesia justru lagi hebat-hebatnya, dan aku bisa jelaskan alasannya. Dari aku SD, tawuran sudah ada. Tetapi, tahu nggak apa yang tidak ada pada zaman aku SD dan sekarang ada di mana-mana di Indonesia? Pemuda Indonesia juara dunia olimpiade robotik, juara olimpiade fisika, juara olimpiade kimia, pemuda Indonesia diundang tur hip hop keliling Amerika, termasuk ke Mekah-nya hip-hop, New York.”
   “Mereka tidak pernah didengar rakyat Indonesia, karena hampir semua media memberitakan keburukan pemuda Indonesia. Untuk setiap 300 pelajar yang sedang tawuran di jalanan, ada 30 ribu pelajar yang lagi belajar, menggali potensi, berpikir, dan berkarya. “
   “Media tidak pernah bertemu mereka karena mereka ada di dalam lingkungan sekolah. Media tidak pernah memberitakan mereka karena pelajar yang sedang belajar kalah menarik dibandingkan pelajar yang sedang membacok. Setiap kali ketemu orang yang bilang pemuda Indonesia kualitasnya menurun, aku yakin dia harus mengganti bacaan dan tontonannya. “


Lantas bagaimana kalau kita mengimpor tayangan atau mengikuti tayangan seperti di Barat?
Yang menjadi sebuah pertanyaan besar adalah, “apakah masyarakat Indonesia paham mengerti tayangan berbobot seperti itu?”

Sumber : https://securethoughts.com/wp-content/uploads/2016/01/children-403582_640.jpg

Fakta bahwa televisi hidup dari rating, karena pengiklan tergantung pada rating sebuah acara. Fakta juga bahwa sebenarnya penonton TV seperti piramida terbalik, yang paling banyak menonton TV adalah masyarakat golongan kebawah.  Artinya, rating tinggi belum tentu menentukan acara itu dilihat orang banyak, namun malah menadankan program TV tersebut ditonton masyarakat kelas bawah.
   Sistem survey Nielsen Media Research juga disesuaikan dengan strata ekonomi para penonton tv. Misalnya, dari 100 persen, 50 persen dari strata ekonomi bawah, 30 persen ekonomi mengengah, 20 persen ekonomi atas. Kenapa angkanya tidak rata? Karena kenyataannya jumlah penonton tidak rata. Kalau angkanya dibuat sama, hasil risetnya tidak akan akurat menggambarkan kenyataan di lapangan.

    Itulah sebabnya mengapa TV saat ini cenderung memberikan tayangan “bodoh” untuk mendapat perhatian masyarakat kelas bawah. Lucunya, sejumlah stasiun TV mengaku kepada Pandji bahwa mereka ingin menayangkan tayangan berkualitas kelas menengah ke atas.


    Stasiun TV saat ini kewalahan karena menayangkan program TV kelas menengah bawah, karena iklan yang ditayangkan berupa produk kelas bawah, yang notabene bukan dari perusahaan besar dan kurang mampu membayar mahal. Sebagai contoh, kamu gak akan pernah liat iklan BMW di Indosiar. Disisi lain, pengiklan juga tidak mau memasang di program berkelas yang notabene penontonnya sedikit. Harusnya pengiklan tidak memasang iklan berdasarkan berapa banyak orang yang menonton suatu program, tetapi siapa yang menontonnya. 


    Hal yang menarik yang terngiang dalam buku ini, Pandji pernah menanyakan kepada para ibu-ibu mengapa mereka sangat menyukai menonton sinetron. Jawaban mereka adalah sinetron itu seperti hiburan bagi mereka. Sesedih-sedihnya si tokoh utama, akhirnya akan bahagia juga.
 

    Untuk beberapa orang, termasuk penikmat sinetron. Sinetron itu ibarat gambaran kehidupan yang mereka alami. Hidup yang berat, susahnya mencari uang, orang-orang jahat disekeliling mereka, terangkum menjadi satu melalui sosok tokoh utama.
Mereka menonton sinetron karena ingin tahu kapan dan bagaiaman dunai sang tokoh utama tersebut berputar balik. Lamanya episode juga sebanding dengan lamanya hidup yang mereka jalani. Selama sinetron masih tayang, tetap ada harapan si tokoh untuk mendapatkan kebahagiaan pada akhirnya, dan selama itu juga mereka bertahan untuk menonton.
 

“Kesamaan RASA DAN HARAPAN adalah dua hal utama yang membuat mereka suka menonton sinetron.”

    Adanya hal yang mengurangi keteraturan alur seperti Pandji yang juga menceritakan kehidupan pribadinya seperti keluarganya dan juga ada sebait puisi yang tidak nyambung dengan bab yang lain menjadi kekurangan disini, tapi buku ini cocok buat kamu yang masih awal dalam mengembangkan diri lewat membaca buku.

Komentar

Postingan Populer